Akhwat's Laman

Sunday, February 23, 2014

Kelapa Ijo?

Baru-baru ini, ada kondisi yang mengharuskan aku meminum kelapa ijo. Pertama kali aku diberi tahu, aku pikir, "bukannya kelapa memang luarnya berwarna hijau ya?", tapi aku iya-kan saja. Di Jakarta aku jarang melihat pedagang kelapa yang masih utuh, ada pun yang sudah menjadi es kelapa muda. Maka dari itu, aku coba tanya orang rumah, siapa tahu di Bandung lebih mudah mendapatkannya. Setelah aku tanyakan pada Ibu, ternyata ada penjual kelapa di dekat rumah. Jadi aku minta tolong belikan pada Bibi.

Kejadian lucunya adalah bahwa Bibi pikir kelapa ijo itu ya, yang biasa ada di mang2 tukang es kelapa muda dan kulitnya BERWARNA HIJAU (sama seperti aku). Jadi saat Bibi beli, sang ibu penjual kelapa sudah menyodorkan kelapa ijo yang asli namun kulitnya sudah kecoklatan dan harganya memang lebih mahal, kelapa biasa mungkin hanya Rp 9000,00/butir, tapi kelapa ijo Rp 15.000,00/butir nya. Karena Bibi khawatir dibohongi, Bibi keukeuh mengatakan pada ibu penjual,

"Ah Bu, wios nu ieu weh!" *Udah Bu, gapapa yang ini aja! (sambil ngotot menunjuk ke kelapa yang lebih kecil dan berwarna hijau muda) 
"Neng, lainna hoyong kalapa ijo pan? Tah, nu ieu nu asli mah." *Mba, bukannya mau kelapa ijo kan? Ini nih yang asli. 
"(Dalam hati) Cenah kelapa ijo, naha luarna coklat, sok aya2 wae si ibu." *Katanya kelapa ijo, kenapa luarnya warna coklat, ada2 aja nih ibu. 
"Yeuh, da kalapa ijo nu asli mah, dalemna warna ungu kitu!" *Nih, kelapa ijo yang asli tuh, yang dalamnya warna ungu! (ibu penjual mulai naik pitam) 
"Oh enya kitu Bu?" *Oh, gitu ya Bu?

Hahaha, terlepas dari lucunya kelakuan Bibi ku, yang mau aku sampaikan adalah bahwa meskipun namanya KELAPA IJO, bukan berarti warna kulitnya harus yang hijau. Ketika masih muda memang hijau, namun ketika mulai tua ya seperti kelapa biasa, kulitnya menjadi kecoklatan. Terus, cara membedakannya jadi gimana?

Kelapa Ijo

Lihat di bagian atasnya itu? Warna keunguan itulah yang membedakannya, sementara kelapa biasa berwarna putih. Selain itu juga, daging kelapa ijo tidak setebal kelapa biasa, bahkan bisa dibilang tidak ada. Namun untuk air nya, rasanya tidak begitu berbeda jauh, walaupun ada yang menyebutkan agak sedikit pahit.

Oke, sibuk banget nih ya nyebut2 kelapa ijo, emang itu buat apa sih?
Setahuku, air kelapa itu adalah minuman isotonik alami yang sangat baik untuk kesehatan tubuh dan mengandung elektrolit yang sama dengan darah kita. Kalo ada yang ga ngerti minuman isotonik apaan (aku juga baru tahu), menurut BPOM RI 2006, adalah minuman yang dapat menggantikan cairan, karbohidrat, elektrolit, dan mineral tubuh dengan cepat. Jadi, ketika kita merasa dehidrasi, meminum air kelapa adalah cara yang tepat untuk mengembalikan kondisi tubuh. Dan kalo ada yang ga ngerti elektrolit tuh apaan juga (ini juga aku baru tau) itu merupakan kandungan yang terkait dengan segala bentuk mekanisme tubuh termasuk metabolisme misal sebagai ion pengaktif enzim, pembentuk hormon, dll (sebenernya ada banyak lagi, tapi khawatir bahasanya bikin ga ngerti), bahkan karena kandungannya yang nyaris sama dengan darah kita, pernah dijadikan transfusi plasma darurat (kebayang ga tuh, hebatnya kelapa, Maasya Allah!).

Baik kelapa biasa maupun kelapa ijo, dua2nya sangat baik bagi tubuh. Untuk manfaat2nya sudah banyak blog yang membahas seperti di beberapa referensi yaitu DISINI atau DISINI atau juga DISINI. Kelapa biasa/kelapa muda biasanya dianjurkan untuk ibu2 hamil agar melancarkan pencernaan selama hamil dan baik pula untuk jabang bayi. Sementara Kelapa Ijo sangat baik untuk melancarkan haid dan membersihkan rahim. Ini biasanya dianjurkan bagi ibu2 yang sudah melahirkan.

Melihat begitu hebatnya fungsi air kelapa, apa boleh diganti dengan air kelapa dalam kemasan (ga boleh sebut merk ya..) ??? Setahuku, ini perlu diperhatikan, bagaimanapun air hasil produksi buatan pasti tidak sama kandungannya dengan yang alami langsung dari sumbernya. Aku sebenarnya tidak begitu tahu tentang kandungannya, tapi jika masih bisa diusahakan untuk mendapatkan yang asli, kenapa tidak langsung beli yang asli saja? Toh, harga lebih murah, airnya lebih banyak dan yang jelas kualitasnya langsung dijamin oleh Pencipta nya.. ;)

Oke sekian dari pengalamanku bergelut dengan kelapa ijo, semoga bermanfaat. Dan kata teteh yang pernah ngasih info, kelapa ijo sangat baik untuk rutin diminum oleh perempuan. Karena kandungannya yang bersifat 'membersihkan'. Kan kita calon2 mom-gonna-be, ini bisa jadi salah satu ikhtiar kita untuk mempersiapkan 'lingkungan' yang sehat bagi calon dede kita ;) Selamat mencoba...

Saturday, February 22, 2014

Saat Aku Pulang Tanpa Babeh... (Part.2)

20.30 WIB
Babeh meneleponku.

“Mba, udah sampai mana?”
“Masih lumayan Mba.”
“Tadi kata Ibu, itu A Iwan mau jemput.”
“Iya Beh, aku udah hubungin A Iwan nya.”
“Disana macet Mba?”
“Udah ga terlalu Beh, tadi mah iya.”
“Iya nih Bapak juga ini kena macet. Yaudah, hati2 ya..”
“Oke Beh..”


21.18 WIB
Ibu meneleponku.

“Mba, sudah sampai mana?”
“Masih jauh Bu. Tadi aku udah hubungin A Iwan.”
“Oh iya atuh, langsung kasih tau A Iwan nya ya kalo udah deket.”
“Oke bu..”
“Hati-hati ya nak..”


22.03 WIB

Alhamdulillah aku sampai juga. Aku pun menghubungi A Iwan bahwa aku sudah sampai, tapi nampaknya A Iwan masih di jalan, jadi aku tunggu di depan Alfamart terdekat. Aku pun tak lupa menghubungi orang tua ku bahwa aku sudah sampai dan sedang menunggu A Iwan. Tapi sepertinya Ibu dan Babeh terus menghubungi A Iwan dan terus memantauku. Aku yang awalnya biasa saja, mulai merasa ‘takut’.

A Iwan masih belum juga datang, sementara Alfamart sudah akan tutup. Orang2 yang tadi satu bus denganku juga ada yang sudah dijemput, naik taksi, atau angkot. Sementara aku masih menunggu sambil terus waspada karena semakin sedikit orang yang aku yakini sebagai ‘orang baik2’. Untuk mengalihkan perhatianku, aku pun melihat2 jejaring sosial, WA dan FB. Dan jika ingin tahu kondisiku saat itu, aku masih ketakutan.

Di WA, seorang temanku mengirim link artikel kaskus yang judulnya “Na’as, Seorang Cowok Asik Berfoto Tidak Sadar Sang Pacar Sedang Diperkosa” dan memintaku membuka link nya yang belakangan aku diberi tahu bahwa itu hanya kucing. Tapi jujur aku adalah orang yang sangat imajinatif, dan aku membayangkan betapa mengerikannya keadaan itu HANYA dari judul yang diberi temanku. Selain itu juga di grup ada yang memberi info peringatan mengenai geng motor yang ingin membalas dendam di daerah Pondok Gede, sehingga diharapkan untuk berhati2 jika keluar malam2 (padahal itu jelas2 dikatakan di PONDOK GEDE, kenapa pula aku ini??!). Di FB, seorang adik kelas memposting mengenai seoang gadis SMA yang meninggal karena terlindas truk. Allah... apa2an ini? Pikiranku pun mulai liar (orang-orang yang kenal aku harusnya tahu seperti apa bentuk dari jenis parno seperti ini).

Aku mulai mencoba menenangkan diriku dengan terus beristighfar, aku yakin memang aku bisa meninggal kapan saja, tapi kekhawatiran ini pasti syetan yang terus membisikkannya dalam hatiku dan aku tidak boleh membiarkannya.


22.31 WIB
Alhamdulillah.. A Iwan sudah datang, aku pun merasa lebih tenang.

***

Selama perjalanan aku merenungi apa yang terjadi pada diriku tadi. Selain tersenyum sendiri (karena aku merasa lucu sendiri dengan ketakutanku tadi), aku sadar, aku tak bisa terus bergantung pada Babeh. Babeh hanya salah satu perantara kemudahan bagiku dari Allah. Apakah jika tidak ada Babeh, lantas aku tidak akan menerima kemudahan? Kalau keyakinanku hanya sampai situ, berarti imanku bermasalah!

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” [QS. Al-Insyirah: 5-8]

Lihat, bahwa Allah SWT. meyakinkan kita sampai 2x! Bahwa tiap ada kesulitan yang kita terima, Allah katakan ada kemudahannya. Jika kita mendustakannya, ampun, celaka deh... Tapi, lihat dalam akhir surat  Allah mengatakan bahwa keyakinan itu memang tidak sekonyong2 hadir, namun karena kepada Allah-lah harapan kita digantungkan. Maka masalah ada Babeh atau tidak, sudah clear (walaupun memang keberadaan Babeh memberikan kenyamanan tersendiri).

Awalnya aku pun tidak masalah mengenai bagaimana cara aku sampai ke rumah, entah itu angkot atau taksi, toh dulu aku juga biasa seperti itu. Tapi Ibu dan Bapak terus menghubungiku, memperlihatkan kekhawatirannya padaku, aku sangat paham, SANGAT. Sebagai orang tua yang memiliki anak gadis, tentu kekhawatiran mereka jauh lebih besar ditambah mengingat keadaan ‘masyarakat malam’ belakangan ini yang cukup mengkhawatirkan. Namun seharusnya aku tidak ikut dalam perasaan itu dan malah menambah parah keadaan mental diri sendiri. Dengan bekal keyakinan pada Allah SWT, harusnya aku menjadi pihak yang memahami dan memahamkan orang tuaku sambil terus waspada dan meminta perlindungan pada Sang Maha Melindungi. Dan mengenai bisikan2 setan? Itu apalagi!

“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” [QS. Al-A’raaf: 16-17]

Tuh, syetan akan terus keukeuh membisikkan apapun yang membuat kita jauh dariNya dari berbagai arah. Strategi mereka pun variatif, bahkan melalui hal2 sepele yang bisa jadi terlalaikan oleh kita, salah satunya tentang kekhawatiran2 macem ni. Tapi karena Allah tahu banget kita kaya gimana, Allah udah kasih tahu, jika sepintas saja itu membuat keyakinanku pada kuasaNya melemah, teruslah berdzikir.

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [QS. Ar-Ra’du: 28]

Sekian hikmah dari pengalaman yang ceritanya puuuuaaannnjaaangggg ini. Semoga Allah meluruskan niat aku dalam menulis cerita ini dan tersampaikan pula pesan yang aku dapat dariNya, pada siapapun yang membaca. J


Wallahualam bishshawwab..

Saat Aku Pulang Tanpa Babeh...(Part.1)

“Mba, hari ini pulang?”
“InsyaAllah Beh, sore ini jam4an aku berangkat dari kantor. Entar kalo udah dapet bus nya aku kabarin lagi ya..”
“Oke siap.. Jangan lupa kabarin kalo udah nyampe Padalarang ya..”
“Wokeh Beh..”

Yap, itu percakapan SMS atau telpon yang biasa aku lakukan dengan Babeh ketika akan pulang ke Bandung. Aku yang bekerja di Jakarta, setiap pulang ke Bandung selalu merepotkan Babeh alias minta jemput. Jemput dimana? Hmm, di jembatan tol Buah Batu. Hah, ga salah?

Hehe, aku susah juga menjelaskan keadaan aku pulang, tapi aku coba beri bayangan ya..
Jadi, dulu sebenarnya aku sering pulang ke Bandung naik travel. Tapi berhubung harganya cukup mahal dan perjalanan dari kantor menuju pool travel agak bolak balik (jadi, dari pool travel menuju Bandung itu melewati arah kantor aku juga), aku memutuskan untuk naik bus. Awalnya aku parno mendengar kata bus, karena aku pernah merasakannya dan itu sangat tidak nyaman (karena aku naik bus bukan dari pool nya, jadi di saat bus sudah terisi penuh oleh penumpang dari Lebak Bulus, dan aku terpaksa berdiri atau tidak jelas posisi).

Namun, aku tahu dari teman bahwa mereka biasa naik bus jurusan ke Garut atau Tasik. Mereka berangkat dari pool Primajasa langsung di daerah BKN (dari sini, bus nya masih pada kosong cuy) dan setelah sampai turun di jembatan tol (jembatan tol ini di atas jalan yang jadi jalur kami ke tempat tujuan pulang). Ada yang di wilayah Padalarang, Leuwi Gajah, Kopo, Moh.Toha dan di tempat aku biasa turun yaitu Buah Batu. Kenapa Buah Batu? Karena itu lebih dekat dengan rumahku. Yah, dibandingkan dengan naik bus jurusan Bandung dan turunnya di Leuwi Panjang (jauh cuy) atau naik travel dan turun di daerah Balubur (sama jauh, kasian Babeh), ya lebih baik ini, meski agak ilegal sih, hehehe...

Sebenarnya aku kasian juga dengan Babeh, karena beliau juga pasti sudah capek dengan kerjanya. Namun beliau berdalih, “Ya masa Bapak biarin Mba pulang sendirian, udah larut, cewe pula..” (emang Babeh, love u full dah.. :*) Aku juga tidak bisa membayangkan seramnya perjalanan sendirian pulang. Mengingat keadaan Bandung pada malam hari yang sulit ditebak. Naik angkot olangan, ditemani penumpang2 yang mencurigakan..hiiiiyyy... Ibu pasti ga bisa tidur tenang.
Namun muncul momen dimana Allah menguji aku, Bapak, Ibu... (*lebay sih, tapi insyaAllah makna...)


21 Februari 2013..

07.00 WIB
Pagi itu, aku mendapat telepon dari Babeh.

“Duh Mba, meni pas ya, Mba pulang sore ini, Bapak malah ke Jakarta..”
“Oh, kenapa Beh? Tanding futsal lagi?”
“Heu-euh.. Mba pulang sama siapa? Kalo sama Dodon, entar nebeng aja, ikut sampe soekarno hatta gitu, dari sana baru naik angkot, tapi jangan yang Cadas Cibiru ya, yang Riung atau Margahayu aja..”
“Liat entar sih Beh, belum tau pada mau pulang ato ga.. Tenang aja Beh, jam segituan mah masih banyak angkot juga..”
“Oh iya atuh, hati2 ya.. Kabarin Bapak..”
“Sssiap Beh..”

Yap, hari itu Babeh mendeklarasikan bahwa beliau tidak bisa menjemput aku. Hmm, aku agak khawatir, tapi ku tepis jauh2, “Ah, palingan nyampe Bandung jam 9 kurang.. masih banyak lah angkot mah..
Sebenarnya dengan keadaan ini aku jadi ingin memilih untuk tidak pulang. Karena akan melelahkan dan Ibu pasti sangat khawatir jika aku pulang sendiri. Tapi pekan ini aku ada tes wawancara kuliah lanjutan, itu alasan mengapa aku ‘terpaksa’ harus pulang. Padahal teman2 kantorku berencana jalan2... huft, pengorbanan...


16.50 WIB
BABEH SMS => Mba udah berangkat ke Bandung? Bapak udah berangkat ke Jakarta.
AKU BALAS => Ini lagi di busway menuju terminal bus Beh..
BABEH SMS => Ada temen Mba? Maaf ya Bapak ga bisa jemput..
AKU BALAS => Aku sendiri Beh..


17.40 WIB
Hari ini aku agak terlambat dapat bus, karena tadi perjalanan menuju terminal/pool agak macet dan aku keluar dari kantor agak terlambat. Tapi aku pikir ini masih wajar, mungkin sampai sekitar jam9. Aku pikir di tol tidak akan macet, karena sepertinya tidak banyak yang pulang ke Bandung.


18.30 WIB
Aku salah total. Muaceettt tenan rek!


18.42 WIB
BABEH SMS => Mba, sudah dapat busnya? Sudah berangkat?
AKU BALAS => Udah beh, udah dari jam6 an..


18.58 WIB
IBU SMS => Mba sudah sampai mana?
AKU BALAS => Masih di tol Bu, masih jauh.. Kenapa?
IBU SMS => Ada teman yang bareng? Mudah2an nyampainya ga malam ya nak dan diberi kelancaran.. aamiin.. (khawatir ga ada yang jemput) -> aku pun mulai berpikir untuk ikut khawatir.. L
AKU SMS => Aku sendiri bu.. Doain aja bu.. tenang aja.. kan ada Allah.. ;) -> padahal mah dalam hati..


19.37 WIB
IBU SMS => Mba, Ibu minta tolong ke A Iwan untuk jemput Mba, soalnya A Iwan sekalian pulang dari Holis cenah. Kalo mau nanti Mba sms A Iwan cenah kalo udah hampir sampai..

Aku mengiyakan dalam hati, karena aku lihat perjalanan masih di KM 30an.
BTW, A Iwan adalah suami dari bibiku. Beliau dan bibiku sudah ku anggap keluargaku sendiri. Jadi kami sudah sering saling meminta bantuan satu sama lain. Termasuk hal2 seperti ini (kalo darurat).

Aku ingin membalas, tapi masih mengantuk... zzzzz...

Sunday, February 9, 2014

Hikmah yang Indah (Part 2)

Aku sangat suka kucing, SANGAT.. Meskipun memang masih belum bisa mengurusnya (berhubung ga dibolehin melihara di rumah). Jadi aku lebih senang ngunyek2 kucing orang atau kucing liar yang bisa didekati. Tapi harapan aku, semoga kelak jika punya rumah sendiri, Allah izinkan aku untuk memelihara kucing, meski masih suka parno, khawatir ribet dan menderita di bawah pengasuhanku. Makanya, harapannya sih suami aku kelak pecinta kucing juga, dan mahir dalam memelihara kucing J.

Setelah kejadian penuh hikmah ketika di Masjid At-Tiin itu, aku sebenarnya masih merasa tidak tenang karena aku memang tak tahu bagaimana keadaan induk kucing dan anak2nya itu. Dan sepengelihatanku, selama beberapa kali aku datang lagi kesana, aku belum pernah melihat lagi kucing2 lucu itu (duh jeng, namanya juga kucing, pindah2 tuh wajar kaliii~). Jadi aku merasa misi penyelamatan kucingku belum ada yang tuntas. Itu membuat gelar pecinta kucingku lagi2 dipertanyakan. Sampai pada tibalah momen lain.

31 Januari 2014, pukul 17.00 WIB(an).
Aku dan ibuku baru pulang dari hypermart MIM untuk belanja kebutuhan rumah. Karena jaraknya tak begitu jauh dari rumah, jadi kami ke sana hanya dengan berjalan kaki. Di tengah perjalanan memasuki jalan depan rumah, kami langsung bertemu Ajil, sepupu kecilku yang baru berusia 1tahun 9bulan, sedang bermain di sekitar rumah ditemani bibiku (mama Ajil). Dia terus berlari kesana kemari, yah wajar, namanya juga anak kecil laki2, sedang aktif2nya. Namun tiba2 dia berhenti di depan rumah tetangga dan seolah ada seekor kucing yang ingin dia beri makan.

“Ckckckck...”
“Kenapa, Jil?”
“Mba, tuh... Meng..”



Memang terdengar ada suara kucing, namun aku tak tahu ada dimana dia. Namun setelah kami tilik, ternyata kucing tersebut ada di atap rumah tetanggaku itu. Pas sekali, sepertinya tetangga kami sedang keluar rumah, jadi tidak ada yang mengecek keberadaan suara itu. Kucing tersebut sangat cantik, berbulu abu putih dan lebat, terlihat seperti kucing rumahan karena sangat bersih dan terurus. Dia terus mengeong di tepi atap dan terlihat seperti meminta bantuan (*dia mengelus2kan badannya ke atap tersebut, itu tanda dia sedang merayu). Dari gelagatnya, dia nampak kesusahan untuk turun dari sana. Aku pun bingung bagaimana cara menurunkannya, karena rumah tetanggaku itu hanya ada satu lantai, jadi cara untuk menurunkannya hanya dengan menggunakan tangga (itu yang terpikir di otakku), sementara kami tak punya.

“Keun we Mba, engke ge bisaeun turun, maenya bisa naik teu bisa turun? Jeung jigana mah keur beger eta teh, da sok aya kucing lain nu nyampeurkeun..”
(*Udah biarin aja Mba, nanti juga bisa turun, masa bisa naik ga bisa turun. Dan lagian kayaknya dia lagi beger deh, soalnya suka ada kucing lain yang ngedeketin..)

Akhirnya mendengar sugesti itu aku pun berlalu, melanjutkan perjalanan ke rumahku. Karena sepengetahuanku, kucing dapat dengan lincah berpindah dari satu atap ke atap lain. Mungkin dia hanya perlu waktu. “Maaf ya Meng.. Moga cepet ketemu jalan turunnya.”

31 Januari 2014, pukul 19.00 WIB(an).
Meong.. Meong... Meong....”
Ya ampun, suara itu masih terdengar! Sepertinya Meng belum menemukan jalan turunnya. Nuraniku (ceileh, jeng..) merasa tak tega mendengarnya. Aku pun mengirim SMS pada Babeh, dengan harapan Babeh cepat pulang dan berkenan membantu meng itu.
ISI SMS: “...(bla bla bla *rahasia). Beh, ada meng kejebak di atap tetangga, aku gatau cara nuruninnya ;(”
Namun babeh tidak menjawab SMS ku... Huft, gimana ini???
...
“Eh, Yu! Kayanya suara meng nya udah gada lagi ya?” (aku mengobrol dengan adikku)

“Asa udah ga ada Mba.”
“Baguslah kalo gitu.”
Oke, sepertinya pertolongan Allah yang entah darimana sudah datang ke meng. Aku jadi lega, karena setidaknya doaku sudah terjawab.

1 Februari 2014, pukul 04.45WIB.
Meonggg.. Meonggg... Meonggg...!!!”
Oh tidak!!! Ternyata meng masih terjebak di sana!!! Suaranya pun terdengar lebih memekik dari sebelumnya, namun sepertinya dia juga kelelahan (karena belum dapat makan-kah? Kasian ;( ). Aku pun berpikir keras, bagaimana cara untuk menolongnya? Karena yang terpikir olehku hanya dengan tangga, aku bisa membawa dia turun. Namun, sepertinya aku terlalu lama berpikir, bagaimana jika karena ketidakpedulianku itu, meng mati kelaparan di sana?!! Yang aku tak habis pikir, apa tetangga sekitar situ apa tidak ada yang peduli atau minimal merasa terganggu dengan suaranya? Soalnya jarak rumah tempat meng terjebak ke rumahku itu sekitar lima rumah. Tidak adakah yang mendengar? (duh, istighfar jeng! Husnuzhan-lah..)
Aaaah, ku putuskan untuk langsung keluar membantu meng. Kalau kalian tanya apa rencanaku waktu itu, aku pun tak tahu! Yang terpikir hanya, “YAA ALLAH, POKONYA TOLONG AKU, GIMANAPUN CARANYA!!!” Aku langsung pakai jilbabku, ku buka pintu rumahku (sengaja ku buat ribut, siapa tahu ada yang merespon dan membantu aku. Namun ternyata tidak ada! *ngarep yang tak berbuah apa2), lalu aku berjalan menuju rumah tetanggaku itu.
Jalanan masih sangat sepi, tak ada orang satupun yang bisa aku mintai bantuan. Aku cari dimana meng berada, namun ternyata dia tidak ada di atas atap rumah itu lagi, lalu aku panggil dia.
“Meng... ckckckck... Meng...?”
Lalu muncul suara meong dari atap rumah sebelah. Ternyata dia sudah berpindah satu rumah, namun tetap tak bisa turun. Dia menuju tepi atap lagi, merayuku untuk membantunya, haduh, kalau bahasa Sunda nya mah ‘meni palaur’, hmm apa ya padanan kata nya? Intinya aku khawatir dia jatuh, karena atapnya lebih miring dan licin dari rumah sebelah. Lalu aku usir dia untuk menjauh ke belakang, Alhamdulillah dia pun menurut.
“Duh, gimana ya ini??”
Kreeeeeeek...

Tiba-tiba saja pintu rumah tersebut terbuka. Sepertinya penjaga rumah tersebut. Wah, kesempatan bagus!
“Mba, maaf itu di atap rumah Mba ada kucing kejebak ga bisa turun. Udah ngeong dari kemarin. Bisa tolong diturunkan ga?”“Oh iya..” (sepertinya Mba nya welcome, tapi sedikit enggan)“Oh atau, bukain aja pintu balkonnya, nanti biar kucingnya bisa turun lewat dalam rumah.”“Ng...”“Oh, atau boleh saya ikut ke atas ga? Biar saya bawa kucingnya turun Mba.”“Oh iya boleh. Itu kucingnya Mba ya?”“Oh bukan Mba, gatau saya juga.”
Yes, aku berhasil! Selangkah menuju mission-completed! Mba nya sudah di lantai atas lebih dulu, aku pun menyusul. Sepertinya Mba nya sedang sendirian, karena sangat sepi. Sesampainya di atas, aku bingung harus masuk lewat kamar yang mana, karena ada 2 kamar yang mungkin jadi jalan menuju balkon tersebut.
“Mba? Mba?”
Aku coba ketuk salah satu pintu, ya ampun ternyata ada suara mengorok dari dalam kamar! Sontak aku kaget, khawatir mengganggu, nanti jadi masalah. Lalu ku ketuk kamar satu lagi, namun tak ada jawaban. Lalu aku coba nekat masuk, dan benar saja di situ Mba nya sedang menjaga pintu dan meng yang nampak ingin masuk. Ooo, sepertinya Mba nya agak takut dengan kucing, makanya dia enggan ketika ku minta untuk membawa kucing tersebut turun.
Karena khawatir kelamaan di rumah orang, cepat2 aku gendong meng sambil turun ke bawah, diikuti Mba nya. Terdengar suara meng yang sepertinya merasa senang (*ini ditunjukkan oleh suara ‘grrr...grr...’ dari tenggorokannya). Ini membuat aku tersenyum sendiri J.
“Makasih ya Mba, maaf ngerepotin.”“Oh iya Mba, gapapa..”
Aku pun keluar dari rumah tersebut, lalu kuturunkan meng dari gendonganku. Dia masih mengeong, tadinya aku ingin memberinya makan, karena sepertinya dia belum makan dari kemarin sore, tapi dia langsung berlari menuju rumah itu lagi.
“Mba, langsung tutup aja pintunya, khawatir meng nya masuk.”“Oh iya Mba.”
Dari situ aku putuskan untuk membiarkan meng menjalani hidupnya sendiri. Sudahlah, biar mandiri, sudah besar juga. (*gayanya..)
Aku pun langsung menuju ke rumah, lalu ibu muncul dengan wajah kebingungan,
“Mba, dari mana?”“Itu, meng tea.”“Oh, kemarin teh belum bisaeun turun? Kirain teh udah. Mba teh nolongin?”“Hehe...”“Mba, mba..”
Ibu pun memelukku.

***

Astaghfirullah, semoga Allah melindungi kita dari sifat riya. Apa yang ingin aku sampaikan adalah ingat ga, saat aku sama sekali tak tahu apa rencanaku untuk membantu meng? Aku meminta pada Allah, “YAA ALLAH, POKONYA TOLONG AKU, GIMANAPUN CARANYA!!!”. Saat aku mengucapkan itu, aku benar2 tak tahu apa yang aku ucapkan. Yang selalu terngiang di benakku adalah perkataan salah seorang teteh yang aku hormati, yang pada waktu itu akan melaksanakan pernikahannya setelah melalui perjuangan yang panjang. Kurang lebih, saat aku tanya bagaimana kiat menghadapi perjuangan yang panjang itu, dia bilang, “prinsip teteh, bantu aja urusan orang sebanyak2nya, dan biar Allah yang membantu urusan kita”. Awesome!!! Yap, dengan itulah hati kita menjadi dipenuhi dengan niat untuk membantu sesama dan bermanfaat bagi sesama, sehingga setidaknya fokus kita teralihkan dari keinginan kita yang menggebu dan belum tercapai itu. Biar ‘TANGAN’ Allah yang memegangnya dan ikhlaskan diri menjadi perantara bantuan Allah untuk makhluk2Nya. Indah kan? Oh ya, juga melalui cerita ini, aku berharap kita tak hanya berfokus untuk membantu sesama manusia, tapi sesama makhluk Allah... ;)


Wallahu’alam bishshawwab..