Akhwat's Laman

Saturday, January 12, 2013

Aku, Jilbab dan Shalatku



Tentang mengapa Allah memerintahkan kita sebagai muslimah untuk berjilbab, itu bukan sekedar perintah loh...

Memang, perintah utama yang muncul adalah seperti yang sudah kita ketahui :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,...” (QS. 24 : 31)
Dan...
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 33 : 59)

Tapi karena Allah Maha Tahu, jelas ada maksud lainnya jika kita mau merenungi tentang mengapa Allah perintahkan kita untuk berjilbab.

Oh, pasti karena wanita itu mengundang perhatian laki2 dan tubuhnya itu memang terlalu berharga untuk diumbar, makanya diperintahkan untuk ditutupi.

Yup, that’s right! Itu adalah apa yang sering kita dengar di ceramah2. Untuk yang sudah “mendapatkan hidayah” itu menjadi begitu syahdu untuk didengarkan, karena sudah merasa bahwa diri ini terlalu mahal untuk diumbar ke sembarang orang.

Tapi masalahnya sekarang, mengapa sahabat2 kita yang belum berjilbab tetap mempertahankan ketidakberjilbabannya? Padahal sepertinya mereka tahu, itu sudah jadi kewajiban setiap muslimah sejak dia baligh, bukan sejak dia merasa sudah “mampu” dan dewasa (*atau tua) untuk dapat akhirnya menutup auratnya (*atau kecantikannya).

Hmm, dari sini nampak mencurigakan... sepertinya patut untuk dipertanyakan tentang bagaimana SHALAT nya selama ini...???

Loh kok jadi ke shalat? Ga nyambung!



Weits, tunggu dulu. Biar saya jelaskan hasil pengamatan saya yang satu ini.
Selama ini setahu saya, ketika shalat, laki2 nampaknya tidak banyak masalah mengenai bagaimana cara mereka berpakaian untuk menghadap Allah. Yah, misalkan dengan kaos + celana jeans panjang yang utuh (*tidak rombeng sana sini), mereka sudah “memenuhi syarat” alias menutup auratnya untuk shalat. Benar tidak??? Namun ada juga bagi mereka yang merasa masih kurang pantas, ada yang menggunakan peci, sarung, atau pakaian terbaiknya (*bukan asal pakai apa yang ada) bahkan ditambah dengan semprotan parfum. Lebay? Tentu tidak, lha wong lagi menghadap Tuhannya. Menghadap Pak Bos saat awal bekerja saja pakai kemeja terbaik malah mungkin baru, malu dong kalau Pak Bos jadi lebih utama gitu daripada Tuhannya.

Oke, kembali lagi ke topik awal. Untuk wanita, setahu saya sih dari zaman Rasulullah sampai saat ini belum ada peraturan baru mengenai bagaimana wanita berpakaian untuk menghadap Allah. Yup mukena!

. . . . .

Weits... Se’ se’, memangnya itu ya, yang diperintahkan Rasul? “Bagi muslimah, jika shalat, menggunakan MUKENA”...??? Wah, setahu saya tidak ada dalilnya tuh. Jadi...???

Oke, memangnya mukena itu pakaian yang seperti apa? Yang menutup kepala, leher, tangan, tubuh, kaki, yang artinya aurat juga kan? Memang ada mukena dengan bawahan yang mini? Apa ada mukena jenis skinny?  Jika ada,mungkin akan ditertawakan bahkan dihujat. Jadi pada intinya, ya yang menutupi aurat wanita. Loh, itu kan Allah sudah perintahkan bukan hanya dalam shalat, tapi juga dalam keseharian kan...? ??

Mukena atau yang sebenarnya jilbab juga itu ibarat pakaian terbaik kita. Wanita yang sudah berjilbab sesuai dengan syariat (tidak ketat, tidak transparan) pada dasarnya sudah memenuhi syarat untuk shalat. Karena syarat berpakaian wanita dalam shalat bukanlah adanya mukena, tapi apakah dia sudah menutupi auratnya dengan benar atau belum.

Saya jadi teringat suatu kejadian konkrit yang pernah saya temukan. Saya beberapa kali melakukan perjalanan travel Jakarta-Bandung begitu juga sebaliknya. Untuk keberangkatan Bandung-Jakarta, saya pergi dini hari pukul 03.00 WIB. Tentu saja dengan keadaan tersebut, saya harus melaksanakan shalat Subuh di dalam mobil (karena travel saat Subuh tidak berhenti di Rest Area). Saat waktu shalat Subuh tiba, saya perhatikan beberapa orang nampaknya meninggalkan shalat Subuh begitu saja, tapi ada juga yang tetap melaksanakannya dan beberapa yang pernah saya lihat adalah laki2. Saya sering berpikir, bagaimana dengan wanita muslim yang belum berjlilbab melakukan shalat Subuh nya dalam travel? Apakah sengaja menggunakan mukenanya dalam travel untuk shalat? Ataukah beberapa berpikiran bahwa shalat Subuh dapat dijamak? Jawabannya ..., tidak, tidak.

Alasan sederhana mengapa seorang muslimah harus berjilbab adalah karena Allah ingin tiap hambaNya siap dalam melaksanakan perintahNya dimana dan kapanpun berada, pada kasus ini adalah dalam melaksanakan shalat. Dari kasus di atas yang saya bicarakan, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita yang belum berjilbab(karena saya masih mendoakan hidayah baginya) jika dihadapkan pada kondisi di atas, akan mengalami kendala untuk melaksanakan shalat. Sejauh ini belum pernah saya melihat dengan keadaan tersebut di atas, mereka menyengaja memakai mukena untuk melaksanakan shalat. Alasannya entah ribet, kagok, malu, gengsi, atau alasan lain buatannya sendiri. Maksud hati ingin melaksanakan perintah Allah yang satu, yaitu shalat, namun meninggalkan perintah lainnya yaitu berjilbab yang justru akan memudahkannya untuk melaksanakan hal2 lainnya. Bukankah ini keadaan yang miris? Lantas bagaimana dengan keislamannya, jika dia hanya melaksanakan shalat ketika dia dalam keadaan yang menguntungkan bagi dirinya saja? Selain itu, bebas untuk meninggalkannya begitu saja?

Allah menciptakan Islam ini untuk mudah dijalankan bagi hamba2Nya. Allah dengan kemurahanNya bahkan memberikan kemudahan2 bagi kita dalam melaksanakan shalat. Jika sakit, tidak mampu berdiri, maka duduklah. Jika tak mampu duduk, berbaringlah. Jika tak ada air, bertayamumlah. Bahkan Allah memberi kemudahan untuk menjamak dan mengqashar shalat. Tapi kita harus berilmu dalam melaksanakannya. Maksudnya, kita laksanakan dengan mengetahui bagaimana aturan dan syaratnya. Jamak hanya dapat kita lakukan untuk shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya. Allah tidak menciptakannya untuk shalat Subuh bahkan batas pelaksanaannya bukanlah sampai shalat berikutnya tiba, tapi terbitnya fajar. Itu berarti, Allah menciptakan aturan yang ketat bagi shalat Subuh ini. Jadi apakah hanya karena alasan yang kita buat2 sendiri lantas kita tidak melaksanakannya?

Maha Benar Allah yang telah mengatur kesinambungan perintahNya tersebut. Hal ini jelas mengingatkan kita semua bahwa tiap perintah yang Allah SWT berikan pada kita adalah bagi kebaikan kita karena Allah Maha Tahu kita membutuhkannya, juga perlunya kita untuk menyeluruh dalam melaksanakan perintahNya karena Allah memiliki skenario sempurna di balik itu semua.

Wallahu ‘alam bishshawwab...

No comments:

Post a Comment